Sore tanggal 23 Agustus 2015 menjadi hari yang cukup menegangkan karena Audisi #StreetComedy5 Sukabumi dengan  jumlah peserta 15 orang akan dimulai. Audisi ini terbuka untuk umum. Dari peserta yang coba-coba, adu nyali sampai yang sudah biasa tampil ikutan audisi. Audisi StreetComedy5 tahun ini  cukup ngeri. Karena sepanjang audisi, tawa penonton yang hadir jarang sekali terdengar.. Apa karena Kompetisi? Atau strategi dari sebagian pendukung peserta untuk menahan tawa agar calonnya lolos audisi.

Awal rencana Sukabumi  tidak akan mengadakan audisi. Namun adanya masukkan lebih baik diadakan kompetisi.  Selain memberikan tantangan terhadap komunitas  juga  memberikan peluang dalam menciptakan opsi dalam memilih wakil yang terbaik. Sehingga akhirnya Sukabumi memutuskan mengadakan audisi Seminggu sebelum Babak Playoff Jawa Barat dimulai.

Audisi #StreetComedy5 Sukabumi sore itu dipandu oleh Fakri dan Miftah. Lemparan lelucon dari dua host ini membawa suasana Audisi menjadi meriah.  Adrenalin audisi pun tidak menjadi tegang seperti ada efek magis. (Mungkin fakri dan miftah ngasi pelet). Baiklah beginilah gambaran penampilan peserta Audisi StreetComedy5 Sukabumi

Komika pertama dipanggil.  Egi Restafauzi (@onoybonoy . Egi terbilang cukup baik dalam menggali materi. Selain itu pernah merantau ke purwakarta dan sempat bergabung dengan komunitas di Purwakarta. Namun Egi lumayan kesulitan untuk menaikkan mood penonton pada awal audisi StreetComedy5 Sukabumi sore itu. Yah resiko opener cukup sulit juga sih!.. Berkat materi yang segar beberapa bit dapat memecahkan tawa. Tapi sebagiannya tidak kena.  Egi termasuk kedalam pertimbangan sebagai calon perwakilan menuju Playoff Jabar.

Komika kedua pun tampil. Achmad Mubaarak (@achmad_M16) . Komika yang lebih banyak memainkan plesetan kata di audisi. Namunn lagi-lagi belum mampu menaikkan suasana. Karena beberapa plesetan katanya sudah pernah sering digunakan saat Openmic..

Komika ketiga @MarioPekat_  Ananda Mario. Mario lebih aktif kumpul ketimbang teman seusianya dalam berstandup. Walau beberapa kali absen openmic/ Combud  sih :P. Dalam Audisi Mario berhasil menghina kepekatan kulitnya. Beberapa Bitnya yang dia explore sendiri (alasan absen combud karena ingin kaji materi sendiri) ternyata cukup baik. Salutee!! Beberapa bit hasil combud yang pernah dibawakan pun cukup baik. Namun waktu yang terlalu cepat saja tidak mampu mengambil banyak LPM.

Komika keempat @SubagjaDiki, Mengaku asal Sukabumi ini sedang bekerja di Bekasi. Saat Audisi  Diki lebih ke Story Telling (sayangnya). Sehingga mengumpulkan LPM yang sedikit didapat.

Selanjutnya Dezzan Rossandy (@Dezan_DSMS) dipanggil naik ke panggung. Teriakan penonton seketika meriah!  Dezzan terbilang baru bergabung dengan Komunitas Standupindo Sukabumi namun sudah  cukup berani mencoba berkompetisi. Dengan karakter Anak STM yang malu-malu membuat cukup lucu. Anak STM  selalu digambarkan doyan tawuran namun Dezzan kebalikannya. Dezzan terlihat sebagai Anak Gemboy, Saat audisi pun sempat-sempatnya bawa gemboy. Mungkin jika dia mengambil karakter anak STM pemalu yang suka bawa gemboy diatas panggung mungkin lebih pas.

Rifan Ramadhan (@Rifanramadhan44) OWGGGG... OWGGG  terdengar saat  dia berpuisi komedi ala WiraNegara SUCI5...  Tapi amat disayangkan keOWGHH-annya lebih ke curhatan pribadi ketimbang berkomedi. :’(

Selanjutnya  Jojo. Lelaki 44 Tahun yang pindah ke Sukabumi ini adalah Founder komunitas Cilacap. Yah lebih banyak makan asam garam dapur ini tampil lebih baik dengan komika sebelumnya. Dari keresahan tentang Pilkada sampai ke Polio terbilang Pecah. Berkat doa istri juga (mungkin) yang menemani saat audisi. Saat audisi pun terlihat mesra (maklum baru menikah) Bang Jojo menjadi salah satu kandidat menuju PlayOff Jabar. Semoga dukungan support dari Istrinya menjadi modal kemulusan saat Playoff Jabar nanti. Amin J

Lalu kemudian Yusuf Tauzir (@tauziri96), Mungkin lebih tepatnya dia lebih kespesialis ikut audisi Street ya :)). Jarang sekali dia openmic... Jadi No comment buat penampilannya (Maaf yee coba deh belajar bareng komunitas)

@Iindoank40330. Iin zupiter namanya saat mendaftar audisi bahkan berkat nama Zupiter sempat jadi bahan komedi Peserta dan Host yang tampil (Dari merk model motor sampai nama planet). Peserta yang berasal dari parungkuda dan sedang bekerja di Bogor ini menceritakan termotivasi ikut Audisi karena melihat Audisi Streetcomedy5 di Bogor. Penampilannya kurang rapi dalam pembawaan namun Segi berbicara  sudah jelas terdengar. Saran dan pesan bergabunglah dengan komunitas standup di Bogor atau di Sukabumi. Yakin kedepannya dapat menjadi  lebih baik.

@RizkianaWanda, Wanda terbilang sangat pesat dari perkembangannya sejak Audisi Street tahun lalu. Dalam segi perjuangan dalam berstandup pun sangat besar. Tidak pilih-pilih dalam memilih gigs yang datang lewat komunitas. Karena itu menjadi faktor penting dalam perkembangannya. Dikenal dengan komika Absurd di komunitas. Wanda punya memiliki banyak setlist yang tertulis di note smartphonenyanya  sehingga  mampu membawa dia sebagai Salah satu perwakilan Sukabumi ke Playoff Jabar.

Fauzan Alwin.. Mahasiswa  yang sudah bergelar  Spd  ini terbilang baru di komunitas Standupindo Sukabumi. Sebagai Guru yang kurang baik dalam memberi contoh ke muridnya ini masih berantakan dalam menyajikan materi komedinya. Kurang kejutan dalam punchline dan kurang keresahan. Walau katanya sempet drop gara-gara pernah ngebomb di openmic tidak membuat dia takut untuk mencoba lagi standup dengan  ikut audisi #StreetComedy5.

Jiwana @IbrahimJunior96 . Dari komunitas berharap dia yang lolos ke playoff namun hasil berkata lain. Dengan gaya slengean kurang mengundang tawa penonton. Materi yang cukup banyak dibutuhkan intelegensi.  Mungkin keidealisan dalam menetapkan materi-materi membuat beberapa bitnya kurang pecah. Bahan yang pernah dipakai saat Playoff jabar tahun lalu pun masih digunakan.  Potensi baik namun untuk  tampil ke playoff bisa lagi-lagi di cut oleh juri :((.

Cut @Aznananaw. Komika perempuan yang saat ini cukup kuat bertahan dalam berstandup komedi. Dengan materi dan setlist yang sudah terpatok jalannya ini tidak cukup modal untuk membawanya ke Playoff. Mungkin dibutuhkan sedikit  materi yang fresh sehingga nantinya bakal ada kejutan dalam penampilannya. Dengan kejahilannya masih bisa menjadi andalan.

Terakhir @egimunandar14.  Komika yang tidak lagi diragukan dalam berjuang untuk berkomedi. Dengan hasil bantuan komunitas yang awalnya memiliki materi yang senonoh ini berubah menjadi komika yang dapat memberikan rasa prihatin penonton. Dengan materi kekurangan dalam kelebihan saat berdiri ini mampu mengangkat tawa penonton sore itu. Cukup baik sebagai penampil terakhir. Ogi menjadi salah satu kandidat kuat dalam ke Playoff
Yak itu sebagian penilaian.. Penampilan Audisi cukup tipis bahkan dalam memilih perwakilan pun cukup sulit sampai Juri pun berdiskusi dengan Host dan mencuri sedikit kesan dari penonton. Berdasarkan pertimbangan dan voting  yang berdasar akhirnya diputuskanlah
Wanda, Jojo dan Egi Restafauzi Sebagai Perwakilan Sukabumi menuju Playoff Jabar di Bandung 29 Agustus Nanti. SELAMAT lagi!!

Demikian gambarannya.. semoga tahun depan muncul kejutan dan potensi baru lagi...

Di bagian pertama,  sudah membahas tentang pentingnya open mic sebagai tulang punggung dari pengembangan komunitas stand-up comedy di sebuah kota (atau kampus dan sekolah, sama saja prinsipnya).

Sekarang, fase kedua. Seandainya open mic sudah bisa terselenggara dengan rutin dan relatif lancar, maka yang berikutnya adalah menyelenggarakan event sendiri. Ada dua jenis event yang biasanya dilakukan: stand-up nite & tour. Keduanya memiliki tujuan yang sama: Menarik lebih banyak massa dan memperkenalkan stand-up comedy ke lebih banyak orang. Juga, memberikan “panggung” untuk comic lokal yang memang dianggap sudah layak tampil.

1. STAND-UP NITE
Istilah “stand-up nite” sendiri awalnya adalah judul event tanggal 13 Juli 2011, yang akhirnya tercatat menjadi event bersejarah. Namun seiring perkembangannya, istilah “stand-up nite” sinonim dengan sebuah penyelenggaraan event stand-up comedy yang di Amerika lebih dikenal dengan istilah “line-up show”, alias mempertontonkan banyak comic sekaligus.

Bicara event, pasti bicara modal dan untung/rugi. Disinilah panitia sudah harus berhitung. Komponen biaya yang paling besar biasanya adalah:
- Sewa tempat berikut kelengkapannya (sound / lighting)
- Publikasi (poster, spanduk, dll.)
- Guest comic (honor + transportasi/akomodasi)

Biasanya, guest comic akan jadi magnet untuk menarik penonton. Itulah mengapa komunitas sebaiknya melakukan riset yang teliti tentang siapa comic yang akan diundang. Yang disukai oleh internal komunitas, belum tentu diminati oleh penonton secara umum. Perlu ada keseimbangan.

Demi menghemat biaya, saya menyarankan dalam sebuah penyelenggaraan stand-up nite sebaiknya cukup mengundang 1-2 guest comic saja. Dan soal honor, jangan khawatir. Masih banyak sekali comic yang meskipun sudah sering wara-wiri di TV, tapi punya ketulusan untuk membantu pengembangan komunitas.

2. TOUR
Menjadi bagian dari rangkaian tour seorang comic akan memberikan berdampak positif bagi sebuah komunitas. Ada dua keunggulan tour dibandingkan stand-up nite:
1. Hype di social media.
Comic yang melakukan tur sudah pasti akan melakukan promosi secara intens. Belum lagi didukung oleh comic-comic lainnya, plus diamplifikasi oleh semua kota yang ia datangi. Hype ini yang sulit ditandingi oleh stand-up nite berskala lokal.
2. Menyontek ilmu.
Dibandingkan stand-up nite, sudah pasti persiapan dan penampilan dari seorang comic yang melakukan tour akan jauh lebih intens. Durasi tampilnya saja jauh berbeda. Ini bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi para comic lokal.

Namun dibandingkan dengan stand-up nite, tour juga memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Ini utamanya disebabkan oleh idealisme dari comic yang melakukan tour. Dan tentunya ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat perlunya ada keseragaman dari konsep tour tersebut di setiap kota dimana ia diadakan. Seringkali, idealisme comic ini menyebabkan biaya produksi event menjadi lebih mahal dibandingkan dengan stand-up nite. Bisa jadi karena tuntutan untuk kapasitas gedung yang lebih besar, sound system yang lebih baik, dan lain-lain.

Mengingat tour adalah kerjasama antara kedua pihak yang sama-sama berkepentingan yakni comic dan komunitas, maka hal paling krusial yang harus disepakati di awal adalah bagaimana sistem pendanaan dan pembagian keuntungannya. Sifat orang Indonesia yang seringkali sungkan untuk membahas masalah uang harus disingkirkan jauh-jauh kali ini, karena justru bisa menyebabkan konflik di kemudian hari.
Karena tour sendiri masih merupakan sesuatu yang baru, jadi sulit juga bila ditanya bentuk kerjasama apakah yang paling ideal. Ini tergantung dari banyak faktor. Menurut saya, mana bentuk kerjasama yang ideal adalah sebuah kerjasama dimana kedua belah pihak merasa tidak merasa dirugikan, alias win-win. Apapun bentuknya.

Dilihat dari segi keuangan, berikut beberapa contoh bentuk kerjasama tour berikut contohnya, dengan asumsi kondisi tanpa sponsor:
1. Comic sebagai pemodal (no risk, no gain).
Ini adalah bentuk kerjasama yang saya jalankan waktu #MeremMelekTour kota 1-5, April-Mei 2012. Dalam format ini, 100% modal dibiayai oleh comic (sewa tempat, perlengkapan, dll.), dan komunitas mendapatkan kompensasi sejumlah uang untuk kerja tim mereka dalam penyelenggaraan acara. Format ini menurut saya paling masuk akal pada saat itu, karena resiko 100% ditanggung oleh saya sendiri. Tiket laku atau tidak, jumlah uang yang diterima oleh komunitas tetap sesuai dengan kesepakatan awal. Bagi komunitas, plus minusnya adalah sebagai berikut:
(+) Zero risk. Tidak keluar modal sepeser pun.
(-) Seandainya tiketnya sold-out sekalipun, komunitas tidak akan mendapatkan bagian.
Sampai saat ini, bentuk kerjasama seperti ini belum pernah terjadi lagi, karena menurut saya ini memang terlalu beresiko bagi si comic.
2. Komunitas sebagai pemodal (high risk, high gain).
Ini adalah kebalikan dari sistem sebelumnya. Disini, 100% pemodalan dilakukan oleh komunitas, dan seluruh hasil penjualan tiket pun menjadi milik komunitas. Tapi, agak mirip seperti stand-up nite, disini komunitas harus menanggung penuh biaya fee (bila ada), transportasi, dan akomodasi si comic beserta rombongannya. Plus minusnya bagi komunitas:
(+) Seandainya tiketnya laku, maka hasil yang didapat bisa sangat besar.
(-) Seandainya penjualan tiketnya tidak mencapai target, maka harus siap merugi.
Bentuk kerjasama ini termasuk salah satu yang paling populer saat ini. Meski tidak pukul rata di semua kota, namun praktek ini sudah dijalankan oleh beberapa tour seperti #AbsurdTour Kemal Palevi, #tanpabatas Sammy DP, dan #TACL Ryan Adriandhy.
3. Partnership (low risk, low gain).
Ini adalah sistem hibrida yang menggabungkan dua bentuk diatas. Ge Pamungkas dan #3GPtour-nya menjalankan sistem ini, demikian pula dengan #MarahTawa milik Setiawan Yogy. Disini, baik modal maupun hasil ditanggung bersama. Sebagai contoh, untuk #3GPtour, Merem Melek Management menanggung biaya fee comic, akomodasi, & transportasi. Sementara komunitas menanggung biaya penyelenggaraan event. Kemudian hasilnya dibagi dua, sesuai dengan persentase yang disepakati bersama. Plus minusnya bagi komunitas:
(+) Meski tetap butuh modal, namun resikonya berkurang.
(-) Karena hasil pendapatan harus dibagi dua, maka potensi profit pun terbatas.
Dari tiga format diatas, mana yang paling ideal? Tergantung selera masing-masing. Yang terpenting menurut saya, baik komunitas ataupun comic sudah paham resikonya dari awal, dan tidak ada yang merasa diperlakukan secara tidak adil.
***


[]

Sejak mulai bermunculan di akhir 2011 lalu, berbagai komunitas stand-up comedy di kota-kota se-Indonesia telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Sebagian sudah bisa menggelar stand-up nite, menjadi host untuk tur, bahkan ada yang sudah membuat special show untuk comic lokalnya sendiri.
Namun harus diakui, laju perkembangan komunitas-komunitas ini tidak merata di semua daerah. Dan ini pun diakibatkan oleh kendala yang berbeda-beda. Sayangnya, ketidakmerataan akselerasi ini kerap ditanggapi negatif oleh pihak-pihak yang merasa ketinggalan. Tidak sedikit yang mulai putus asa karena merasa komunitas mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan kota-kota lain. Padahal, faktornya ada banyak, belum tentu salah mereka juga.
Melihat kondisi yang ada ini, saya ingin mencoba berkontribusi dengan membuat beberapa tulisan berseri, yang benang merahnya adalah bagaimana cara mengembangkan komunitas stand-up comedy di kota masing-masing. Tentu, tulisan ini lebih relevan untuk komunitas yang relatif baru, yang masih mencari cara untuk bisa memantapkan jejak kaki. Semua yang saya tulis bersumber dari buku-buku yang saya baca dan pengalaman saya yang baru 2.5 tahun ini. Of course, I could be wrong. But I’ll try my best.
Mari kita mulai dari hal yang paling mendasar. Blog post Part 1 ini akan saya beri judul:
“KEMBALI KE KHITAH: OPEN MIC”

Saya akan mulai dengan analogi yang klise. Ibarat membangun rumah, open mic itu fondasi. Stand-up nite, stand-up tour, dan kawan-kawannya itu ornamen. Aneh kan kalo lebih fokus pada warna cat dan model kusen padahal rumahnya bisa ambruk sewaktu-waktu? Ini mungkin terdengar aneh. Stand-up comedy sudah berkembang sedemikian rupa, tapi kenapa saya masih mau membahas hal yang sangat basic? Kenyataannya, di beberapa kota yang saya saksikan langsung pun, open mic tidak berjalan dengan optimal. “Tapi kakkkkkk, ada koq kota yang open mic nya ga beres tapi bisa bikin event yang sukses!” Iya, betul. Tapi mereka rapuh. Bagaikan rumah mewah yang mentereng tapi rentan roboh.
Saya bisa mengerti betapa resahnya teman-teman komunitas yang merasa tertinggal oleh kota-kota lain yang lebih maju, tapi coba sadari dulu hal ini: Tanpa open mic yang berkesinambungan, kalian tidak akan bisa berkembang. Semua harus berjalan dengan bertahap. Open mic sangat krusial karena selain menjadi “dojo” bagi para comic untuk melatih jurus-jurus mereka, ini juga menjadi ajang pembibitan pasar. Ini menjadi salah satu sarana vital untuk melakukan penetrasi ke masyarakat, memberikan pengalaman kepada penonton, “Oh ini toh rasanya nonton stand-up comedy”.
Saya akan membahas open mic dari dua aspek, yakni teknis dan non-teknis. Aspek teknis berhubungan erat dengan tempat yang digunakan, sementara aspek non-teknis berhubungan dengan strategi penyelenggaraan acara.
BAGIAN I: ASPEK TEKNIS

Mencari tempat open mic yang ideal memang sangat amat sulit. But then again, mengembangkan komunitas stand-up comedy memang tidak mudah. Saya akan mencoba menjabarkan kondisi ideal yang masih dalam batas kewajaran. Tidak harus sempurna, tapi juga tetap harus memenuhi beberapa syarat mendasar. Berikut 3 hal yang menurut saya harus diperhatikan:
1. Cafe, jangan restoran.
Musuh terbesar dari seorang komedian adalah makanan. Seseorang yang sedang makan, tidak mungkin tertawa. Cafe, adalah tempat dimana orang datang untuk nongkrong, kongkow, atau mungkin bekerja. Restoran adalah tempat dimana orang datang untuk makan. Kecuali komunitasnya sudah bisa membawa massa sendiri, saya sarankan hindari open mic di restoran. Di cafe, lebih besar kemungkinan kita mendapatkan massa baru, yang mungkin tidak datang untuk menonton open mic, tapi kemudian ketagihan. Dan satu hal lagi. Di restoran, rotasi perputaran orang yang hadir akan lebih cepat, sehingga lebih banyak orang lalu-lalang. Belum lagi pelayan yang tak henti-hentinya keliling membawa baki makanan. Tampak sepele, tapi ini adalah gangguan-gangguan visual yang fatal.
2. Panggung harus terang.
Ini masih ada hubungannya dengan faktor visual. Saya sering sekali mendapatkan open mic di panggung yang gelap, atau memiliki penerangan yang sama dengan seisi ruangan. Ini memiliki dua dampak negatif yang sangat besar:
a. Penonton tidak memiliki titik fokus visual. Tanpa titik fokus visual, perhatian penonton sangat mudah teralihkan.
b. Penonton tidak bisa menyimak dengan optimal gestur tubuh dan mimik wajah si comic. Padahal hal-hal tadi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah penampilan stand-up comedy.
3. Waspadai gangguan suara.
Jangan sepelekan bunyi-bunyian yang mengganggu. Setengah detik saja set-up kita tidak terdengar, seluruh punchline bisa lumpuh total. Berdasarkan pengalaman saya, dalam open mic ada dua gangguan suara yang paling sering muncul:
a. Blender. Ini cukup tricky. Terkadang ada cafe yang blendernya terletak di luar / dekat bar, tanpa peredam suara pula.
b. Kendaraan bermotor. Biasanya ini terjadi apabila cafe terletak persis di tepi jalan raya.
(Di cafe yang full indoor sekalipun, gangguan ini bisa terjadi. Apalagi bila menggunakan cafe yang semi-outdoor. Terlalu beresiko.)
BAGIAN II: ASPEK NON-TEKNIS

Venue yang baik adalah modal yang luar biasa berharga. Tapi jangan lupa, perhatikan juga hal-hal berikut:
1. Jangan sepelekan peran MC.
Dalam open mic, MC bukan hanya sekedar pembawa acara. MC dalam open mic bertanggungjawab untuk:
a. Menghangatkan suasana. Berarti, MC harus lumayan lucu.
b. Mengedukasi penonton. Beri penjelasan umum tentang apa itu open mic, agar mereka paham kenapa ada yang berani naik panggung meski belum lucu. MC harus menjaga agar ekspektasi penonton ada di titik terendah. Semakin tinggi ekspektasi penonton, semakin berat tugas comic.
c. Menjaga ritme acara. MC harus pandai mengatur urutan comic yang tampil, agar tidak ada kejadian dua atau lebih berturut-turut comic yang nge-bomb total. MC harus cekatan memodifikasi urutan comic yang tampil demi menjaga kenyamanan penonton.
2. Jaga stabilitas durasi.
Dari minggu ke minggu, sebaiknya durasi open mic tidak berubah-ubah secara drastis. Bila dalam suatu minggu comic yang hadir sedikit, ya sudah. Tapi bila membludak, sebaiknya tetap dibatasi. Open mic yang terlalu lama akan berpotensi merugikan comic yang mendapatkan urutan akhir, karena sebagian penonton sudah beranjak pulang.
3. Beri variasi.
Tidak ada salahnya juga apabila sesekali ada variasi dalam bentuk acara, misalkan ada selingan battle, improv, dan lain-lain. Tidak harus ada, tapi bila ada akan lumayan menyegarkan.
***
Demikian bagian pertama dari serial tulisan saya tentang pengembangan komunitas stand-up comedy lokal. Di bagian kedua nanti, saya akan mulai membahas event stand-up comedy yang bisa diselenggarakan oleh komunitas lokal. Semoga berguna :)
Sumber [@ernestprakasa]


Sering muncul pertanyaan: 
“Mengapa membedakan lawak dengan stand-up comedy? Apa karena gengsi?”
Karena memang berbeda dari kedalaman makna. Komedi tunggal (padanan untuk stand-up comedy, atau disingkat komtung) merupakan sebuah format pertunjukan lawak yang memiliki sejumlah konvensi atau pakem tersendiri. 
Pertanyaan di atas sama dengan, “Kenapa membedakan fiksi dengan novel?”
Novel memang karya fiksi, tapi tidak semua karya fiksi itu novel. Komtung memang pertunjukan lawak. Tapi tidak semua pertunjukan lawak itu komtung. 
Di Indonesia, sebagai contoh, ada format lawak Mataraman (atau Dagelan Mataram) yang dipopulerkan almarhum Basiyo (meninggal tahun 1984).
Pertanyaan berikut: “Lantas kenapa pelaku komtung disebut comic? Nggak mau disebut pelawak?”
Sekali lagi: comic dan pelawak itu istilah dengan kedalaman makna berbeda. Yang pertama khusus, yang kedua umum. Analoginya seperti novelis dan penulis. Sah saja menyebut seorang novelis sebagai penulis. Namun, tidak semua penulis adalah novelis. Ada juga cerpenis, kolomnis, dan sebagainya.

Jadi silakan menyebut seorang comic sebagai pelawak. Tapi tidak semua pelawak adalah seorang comic. Di sisi lain, istilah lawak sendiri sudah mengalami penyempitan makna karena terlalu sering dikaitkan dengan format yang populer di Indonesia. Jadi, penggunaan istilah pelawak untuk mengacu seorang comic bisa jadi memberikan persepsi yang keliru. Bukannya tidak mau. Hanya berpotensi menyesatkan.

Pertanyaan terakhir: “Kalau begitu, sudah adakah istilah Indonesia untuk menyebut seorang comic atau stand-up comedian?”
Sayangnya, belum. Kalau ada usul, silakan. Salah satu alternatif adalah Komika. Tapi istilah itu banyak menerima penolakan, haha. Padahal salah satu syarat diterimanya sebuah istilah baru adalah penggunaannya secara meluas.


Ditulis oleh Isman H. Suryaman, artikel asli ada Bertanya atau Mati - Komtung 101: Antara Lawak dan Stand-up Comedy


LPM = Laugh Per Minute, satuan pengukur kadar kelucuan satu set seorang comic. 

Gimana cara hitungnya? 
Hitung total tertawa penonton saat kita bawa materi, dibagi total menit set. Dapatlah rata-rata ketawa per menit.

Nah, berapa LPM komedi tunggal sebaiknya?
Menurut banyak praktisi, untuk satu set komtung, minimal 4-6 LPM. Dengan kata lain...
...kalau penonton gak ketawa minimal 4 kali dalam satu menit, menit berikutnya mesti lebih banyak. Nah, mari cek materi kita.

Kalau di atas kertas aja set kita nggak sampai 4 LPM, revisi dan revisi terus. Karena nanti saat dijajal apa lagi, bisa meleset. 
Salah satu cara memadatkan LPM set: menambahkan halfway punchlines. Lelucon-lelucon kecil saat kita sedang bawakan setup. Bisa juga menggunakan dua teman yang sudah pernah disebut : tag dan call back. Mesti baik-baik ama dua ini. Sobat karib kalau bisa.

Karena tag membuat kita hemat waktu dengan tidak membuat setup baru. Langsung sambung punchline dengan punchline.
Dan callback bisa digunakan untuk menambahkan ketawa di atas ketawa. Jadi intens. Tawa biasa jadi diiringi tepuk tangan, misalnya.

Tag : punchline lanjutan dari sebuah punchline. Jadi gak ngulang dari setup lagi
Call back : acuan balik ke punchline terdahulu.
Contoh Call back : Setup -> "[Susah] ngadepin cewek ngambek di mobil..."

Punchline: "Menghadapi [cewek yang ngambek] cuman ada satu cara: [pura-pura] mati." Di beberapa joke berikut, dia call back, "Mati!" seperti ini :
Susah ngadepin cewek ngambek di mobil.
Menghadapi [cewek yang ngambek] cuman ada satu cara yaitu [pura-pura] mati.
Beruntung klo ceweknya yang nyetir.. kalo cowonya yang nyetir yang ada mati beneran

Penggunaan tag dan call back yang efektif membuat materi jadi lebih padat kelucuannya. Asal jangan berlebihan, tentunya.

Buat teman-teman yang mau ikutan open mic: ingat bahwa stand up comedy itu adalah suatu format - ada bagan-bagannya.Bukan berarti harus taat mati, tapi kenali dulu pakemnya. Baru bisa bereksperimen. Sebagai contoh: pakem materi adalah tau setup dan punchline nya

Setup adalah premis, suatu pernyataan sikap yang gak lucu. Tapi merupakan dasar untuk selanjutnya: punchline yaitu pernyataan sikap yang bikin lucu.

Kata kunci di sini "sikap". Inggrisnya: "attitude". Kalau cuman pernyataan tanpa sikap, jadinya datar. Tambahkan sikap, jadi menarik.

Menurut Judy Carter, sikap terhadap sesuatu bisa dikategorikan empat: 
  1. aneh (weird)
  2. ngeri (scary)
  3. susah (hard)
  4. bodoh (stupid)

Sikap ini  bisa eksplisit dan Implisit

Eksplisit (benar-benar disebutkan)
contoh:
"Nama-nama band sekarang aneh-aneh!" --@RadityaDika

Implisit (masih tentang aneh, tapi tidak disebutkan).
Contoh:
"Kenapa golf termasuk olahraga?" --@ismanhs
"Kenapa toilet ada penjaganya?" --@ernestprakasa

Jadi, ketimbang langsung berusaha cari kalimat lucu, saat menulis materi : mulailah dari premis dulu tentang topik yang mau kita omongkan.Baru dari premis tersebut kita lanjutkan dengan punchline : Dan Punchline ini adalah bagian yang harus lucu. Kalau gak lucu, tulis ulang!

Sering kali apa yang kita rasa sudah lucu di atas kertas ternyata saat dijajal di atas panggung, gak lucu. Nge-bomb : Itulah guna open mic.