Pengembangan Komunitas Stand-Up Comedy Lokal (Part 1)

Sejak mulai bermunculan di akhir 2011 lalu, berbagai komunitas stand-up comedy di kota-kota se-Indonesia telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Sebagian sudah bisa menggelar stand-up nite, menjadi host untuk tur, bahkan ada yang sudah membuat special show untuk comic lokalnya sendiri.
Namun harus diakui, laju perkembangan komunitas-komunitas ini tidak merata di semua daerah. Dan ini pun diakibatkan oleh kendala yang berbeda-beda. Sayangnya, ketidakmerataan akselerasi ini kerap ditanggapi negatif oleh pihak-pihak yang merasa ketinggalan. Tidak sedikit yang mulai putus asa karena merasa komunitas mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan kota-kota lain. Padahal, faktornya ada banyak, belum tentu salah mereka juga.
Melihat kondisi yang ada ini, saya ingin mencoba berkontribusi dengan membuat beberapa tulisan berseri, yang benang merahnya adalah bagaimana cara mengembangkan komunitas stand-up comedy di kota masing-masing. Tentu, tulisan ini lebih relevan untuk komunitas yang relatif baru, yang masih mencari cara untuk bisa memantapkan jejak kaki. Semua yang saya tulis bersumber dari buku-buku yang saya baca dan pengalaman saya yang baru 2.5 tahun ini. Of course, I could be wrong. But I’ll try my best.
Mari kita mulai dari hal yang paling mendasar. Blog post Part 1 ini akan saya beri judul:
“KEMBALI KE KHITAH: OPEN MIC”

Saya akan mulai dengan analogi yang klise. Ibarat membangun rumah, open mic itu fondasi. Stand-up nite, stand-up tour, dan kawan-kawannya itu ornamen. Aneh kan kalo lebih fokus pada warna cat dan model kusen padahal rumahnya bisa ambruk sewaktu-waktu? Ini mungkin terdengar aneh. Stand-up comedy sudah berkembang sedemikian rupa, tapi kenapa saya masih mau membahas hal yang sangat basic? Kenyataannya, di beberapa kota yang saya saksikan langsung pun, open mic tidak berjalan dengan optimal. “Tapi kakkkkkk, ada koq kota yang open mic nya ga beres tapi bisa bikin event yang sukses!” Iya, betul. Tapi mereka rapuh. Bagaikan rumah mewah yang mentereng tapi rentan roboh.
Saya bisa mengerti betapa resahnya teman-teman komunitas yang merasa tertinggal oleh kota-kota lain yang lebih maju, tapi coba sadari dulu hal ini: Tanpa open mic yang berkesinambungan, kalian tidak akan bisa berkembang. Semua harus berjalan dengan bertahap. Open mic sangat krusial karena selain menjadi “dojo” bagi para comic untuk melatih jurus-jurus mereka, ini juga menjadi ajang pembibitan pasar. Ini menjadi salah satu sarana vital untuk melakukan penetrasi ke masyarakat, memberikan pengalaman kepada penonton, “Oh ini toh rasanya nonton stand-up comedy”.
Saya akan membahas open mic dari dua aspek, yakni teknis dan non-teknis. Aspek teknis berhubungan erat dengan tempat yang digunakan, sementara aspek non-teknis berhubungan dengan strategi penyelenggaraan acara.
BAGIAN I: ASPEK TEKNIS

Mencari tempat open mic yang ideal memang sangat amat sulit. But then again, mengembangkan komunitas stand-up comedy memang tidak mudah. Saya akan mencoba menjabarkan kondisi ideal yang masih dalam batas kewajaran. Tidak harus sempurna, tapi juga tetap harus memenuhi beberapa syarat mendasar. Berikut 3 hal yang menurut saya harus diperhatikan:
1. Cafe, jangan restoran.
Musuh terbesar dari seorang komedian adalah makanan. Seseorang yang sedang makan, tidak mungkin tertawa. Cafe, adalah tempat dimana orang datang untuk nongkrong, kongkow, atau mungkin bekerja. Restoran adalah tempat dimana orang datang untuk makan. Kecuali komunitasnya sudah bisa membawa massa sendiri, saya sarankan hindari open mic di restoran. Di cafe, lebih besar kemungkinan kita mendapatkan massa baru, yang mungkin tidak datang untuk menonton open mic, tapi kemudian ketagihan. Dan satu hal lagi. Di restoran, rotasi perputaran orang yang hadir akan lebih cepat, sehingga lebih banyak orang lalu-lalang. Belum lagi pelayan yang tak henti-hentinya keliling membawa baki makanan. Tampak sepele, tapi ini adalah gangguan-gangguan visual yang fatal.
2. Panggung harus terang.
Ini masih ada hubungannya dengan faktor visual. Saya sering sekali mendapatkan open mic di panggung yang gelap, atau memiliki penerangan yang sama dengan seisi ruangan. Ini memiliki dua dampak negatif yang sangat besar:
a. Penonton tidak memiliki titik fokus visual. Tanpa titik fokus visual, perhatian penonton sangat mudah teralihkan.
b. Penonton tidak bisa menyimak dengan optimal gestur tubuh dan mimik wajah si comic. Padahal hal-hal tadi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah penampilan stand-up comedy.
3. Waspadai gangguan suara.
Jangan sepelekan bunyi-bunyian yang mengganggu. Setengah detik saja set-up kita tidak terdengar, seluruh punchline bisa lumpuh total. Berdasarkan pengalaman saya, dalam open mic ada dua gangguan suara yang paling sering muncul:
a. Blender. Ini cukup tricky. Terkadang ada cafe yang blendernya terletak di luar / dekat bar, tanpa peredam suara pula.
b. Kendaraan bermotor. Biasanya ini terjadi apabila cafe terletak persis di tepi jalan raya.
(Di cafe yang full indoor sekalipun, gangguan ini bisa terjadi. Apalagi bila menggunakan cafe yang semi-outdoor. Terlalu beresiko.)
BAGIAN II: ASPEK NON-TEKNIS

Venue yang baik adalah modal yang luar biasa berharga. Tapi jangan lupa, perhatikan juga hal-hal berikut:
1. Jangan sepelekan peran MC.
Dalam open mic, MC bukan hanya sekedar pembawa acara. MC dalam open mic bertanggungjawab untuk:
a. Menghangatkan suasana. Berarti, MC harus lumayan lucu.
b. Mengedukasi penonton. Beri penjelasan umum tentang apa itu open mic, agar mereka paham kenapa ada yang berani naik panggung meski belum lucu. MC harus menjaga agar ekspektasi penonton ada di titik terendah. Semakin tinggi ekspektasi penonton, semakin berat tugas comic.
c. Menjaga ritme acara. MC harus pandai mengatur urutan comic yang tampil, agar tidak ada kejadian dua atau lebih berturut-turut comic yang nge-bomb total. MC harus cekatan memodifikasi urutan comic yang tampil demi menjaga kenyamanan penonton.
2. Jaga stabilitas durasi.
Dari minggu ke minggu, sebaiknya durasi open mic tidak berubah-ubah secara drastis. Bila dalam suatu minggu comic yang hadir sedikit, ya sudah. Tapi bila membludak, sebaiknya tetap dibatasi. Open mic yang terlalu lama akan berpotensi merugikan comic yang mendapatkan urutan akhir, karena sebagian penonton sudah beranjak pulang.
3. Beri variasi.
Tidak ada salahnya juga apabila sesekali ada variasi dalam bentuk acara, misalkan ada selingan battle, improv, dan lain-lain. Tidak harus ada, tapi bila ada akan lumayan menyegarkan.
***
Demikian bagian pertama dari serial tulisan saya tentang pengembangan komunitas stand-up comedy lokal. Di bagian kedua nanti, saya akan mulai membahas event stand-up comedy yang bisa diselenggarakan oleh komunitas lokal. Semoga berguna :)
Sumber [@ernestprakasa]

0 komentar:

Posting Komentar